Monday, March 23, 2015

Cita-Citaku bukan Cita-Citata

Pengen cerita macem2 nih. Langsung aja yah.
Huft. Gue sakit. Sakitnya tuh di lutut. Mungkin lagi musim atau apa, yang jelasnya saat ini gue bisul tepatnya itu di lutut. Sifat alamiah manusia sadar kalo ternyata koreksi diri dengan menjaga makanan yang sehat lebih baik daripada mengobati.

Bisul, iya awalnya Adi abis itu gue di awal minggu baru2 ini dan kemarin si Asma. Anehnya semuanya kompakan di lutut. Kok bisa ya? ya miris aja, sekarang gue gak bisa shalat berdiri yang menyebabkan gerakan sujud gue gak begitu sempurna dan kadang2 harus duduk pula. Semalam diprotes sama si Isna karena sujudnya gak nyentuh lantai. Apa boleh buat. Tar deh gue pake bantal kenapa? karena orang2 yang ngeliat gue shalat bakal bertanya KOK RUKU'NYA TIGA KALI. Huhuhu.

Kabar nyokap, baik alhamdilillah. Nyokap cuma butuh terapi rutin tiap saat biar bintitannya yang sejak November itu bisa benar2 sembuh. What about bokap? sinusnya bokap kambuh lagi. Jadi hal paling utama untuk saat ini adalah kasih perhatian yang lebih ke mereka berdua. Ya walopun gue juga lagi sibuk2nya nyelesaiin ketikan penyelesaian matematika dan format2 arsip untuk sekolah.

***
Eniwei, ngomongin tentang cita-cita. Waktu kecil dulu gue mo jadi polisi. Pas masuk SMP cita-cita itu ilang gue malah mo jadi pesepakbola gara-gara demam piala dunia. Trus masuk SMA cita-cita gue berubah pengen jadi dokter. Pas masuk universitas cita-cita waktu SMA pun ilang eh malah pengen jadi arsitektur di taun2 berikutnya. Abis itu pas selesai kuliah keinginan untuk jadi psikolog ada juga sih padahal gue anak gizi gitu dan disitulah gue baru sadar kalo ternyata cita-cita itu bisa berubah seiring berjalannya waktu. Semenjak master chef suka ditayangin di tivi, gue malah bertekad jiwa dan raga untuk menjadi seorang chef. Gue bermimpi suatu hari nanti gue bisa pake apron chef kek chef2 yang lain. Mencicipi banyak makanan lalu mengoreksinya, selayaknya chef.

Sebenarnya simple aja sih untuk jadi chef, cukup mengexplore seluruh bahan lalu olah menjadi sebuah makanan yang punya nilai artistik tinggi baik dari segi rasa ataupun dari segi tampilan. Udah. Gitu aja. Hanya saja gue kadang belum terlalu ahli dalam hal masak memasak. Yah, kalo masakannya gak gosong paling hampir mencelakai diri sendiri di dapur. Huhuhu.

Ambil contoh beberapa hari yang lalu waktu Asma nyuruh gue goreng tempe. Gue kan orangnya suka ngerjain banyak hal dalam waktu yang sama. Contoh, kalo lagi ngetik depan laptop sebisa mungkin gue nyalain radio atau mp3. Jadi aktivitas dengar radio gue bermanfaat karena dengan ngetik tangan gue juga ikut kerja. Contoh lagi, sambil gendong Fathan, gue juga nyayi2 atau makan sambil liat makanan yang ada di piring. Nah, berhubung gue orangnya rada-rada doyan ngerjain 2 kerjaan sekali waktu akhirnya gue menggoreng tempe sambil nonton tipi. 

Seperti yang dibilang ama dosen gue si ibu Dyah, sekali merengkuh dayung, tiga pulau terlampaui. Gue akhirnya menempuh jalan itu. Tapi kali ini bukan tiga pulo terlampaui, tapi banyak pulo. Menggoreng, nonton, duduk, napas, liat2 sekitar. Gue menggoreng pake sude yang di pegangannya itu gak pake pengalas. Jadi kalo tuh sude kelamaan disimpen di atas wajan kemungkinan besar panasnya bisa meresap ke dalam pegangannya. Setelah masakan nunjukin bau2 kek udah matang menghampiri mau gosong, dengan sigap gue pun langsung megang tuh sude dan...

ARGHHHHHHH

Gue cuma bisa geleng2 sambil ngibas2in tangan ke udara. Panasnya tuh disini *nunjuk telapak tangan*. 

***
Dan terkadang cita-cita yang tidak pernah terfikirkan malah itu yang kita jalani sekarang. Jadi dosen di universitas, ah gak pernah terlintas di benak gue. Waktu kerja di kampus pun cita-cita untuk jadi dosen PNS semakin menggebu-gebu. Segala cara gue lakuin mule dari ngurus STR di dinas, kartu kuning dan SKCK di kepolisian. Akhir taon 2014 kemarin sempet sih daftar tapi belum sempat bertarung gue udah kalah duluan. Yayaya, sistem online kadang membuat gue terbelenggu oleh kedodolan gue sendiri. Gue salah isi biodata yang menyebabkan gue gak bisa lanjut ke tahap selanjutnya.

Awal taun 2015, gue memilih kembali di jalur pendidikan untuk memajukan sekolah. Sekarang masih dalam rekonstruksi ke arah yang lebih baik. Minta do'anya semua semoga kita sebagai bagian dari orang2 yang peduli pendidikan bangsa benar2 bisa memajukan dunia pendidikan lewat aksi2 nyata, karena karya dibuat dengan aksi bukan hanya sekedar kata-kata.

Monday, March 16, 2015

Sekolah Impianku

Gue terbangun di suatu subuh dari tidur kemudian mengucek2 mata tak lupa membaca do'a bangun tidur. Pagi yang cerah waktu itu di awal tahun 2015, gue ditugasi mengunjungi sebuah institusi pendidikan bernama "Sekolah Impianku" untuk sekedar mengamati sistem pendidikan disana seperti apa.

***
Sekolah itu terletak di tengah2 kota. Lumayan sederhana dibandingkan dengan sekolah negeri atau kejuruan pada umumnya. Sekolah itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki oleh sebagian siswanya, ada juga yang naik sepeda bahkan naik angkutan umum.

Sebelum memasuki pintu gerbang sekolah, terlihat spanduk tahan air, angin dan badai bertuliskan : "SELAMAT DATANG DI SEKOLAH KAMI" tepat berada di atas pintu gerbang.

Kaki ini mulai melangkah pelan memasuki sekolah disambut oleh satpam dengan ramah sambil melempar senyum si satpam bertanya "Ada yang bisa saya bantu?". Nice. Setelah mengutarakan maksud dan tujuan untuk bertemu kepala sekolah, gue dipersilahkan untuk menunggu di salah satu tempat duduk di koridor depan kelas.

Melewati pintu kedua, terdapat papan bertulis "SELAMAT DATANG DI AREA BEBAS ROKOK, DI AREA SOPAN DAN SANTUN". Jika berjalan didalamnya luas sekolah bisa ditebak berukuran sekitar 21x26 meter. Cukup menampung enam kelas. Punya ruang kepala sekolah, ruang guru, perpustakaan, ruang tata usaha, wc dan kantin sama seperti sekolah2 lainnya. Bedanya cuma di ukuran. Semua ruangan terlihat lebih kecil dari yang seharusnya terlihat. Hanya tersisa 3 kelas yang benar2 sesuai dengan ukuran kelas pada umumnya yaitu 7x7 meter. Tiga kelas lainnya hanya dibatasi oleh sekat triples apa adanya. Dimana suara akan tetap terdengar ke ruangan yang ada di sebelahnya.

Salah satu kelas dibatasi dengan ruang tata usaha, meski begitu mereka tetap merasa nyaman. Siswa2nya cukup bisa mengerti keadaan sekolah dimana mereka mencari ilmu tiap pagi. Mereka tidak merasa risih sedikit pun. Mereka tidak merasa malu bersekolah disana. Disebelah ruang tata usaha terdapat ruang kepala sekolah dengan 1 wc dan sekitar 4 sofa untuk menerima tamu.

Tepat di sebelah kiri dari ruang kepala sekolah terdapat perpustakaan yang besarnya lumayan sama dengan besar ruangan kepala sekolah. Di depan perpustakaan ada sepetak kecil kantin kira2 berukuran 2x2 meter. Kantinnya diberi nama "Kantin Sehat". Ada slogan yang cukup menarik di kantin bunyinya kurang lebih seperti ini "Makan sepuasnya. Bayar seikhlasnya". Pemandangan langka yang jarang ditemukan dimana pun kecuali di Vienna. Kantin ini dipelopori oleh pihak yayasan dari sekolah itu. 

Tepat dekat kantin itu terdapat dua kelas yang saling berdampingan. Kedua kelas itu hanya dibatasi oleh triples yang tidak begitu kuat sebagai pengganti tembok.

***
Sekolah ini hanya membina sedikit siswa. Tiap kelas hanya dihuni oleh 20 orang, tidak pernah lebih dari itu. Sambil menunggu kepala sekolah yang sedang menerima tamu gue sesekali memperhatikan bunga2 dan beberapa pepohonan yang sesekali ditiup angin yang membuat suasana semakin adem dan nyaman duduk di pelataran kelas.

Saat jam istirahat tiba, para siswa terlihat begitu antusias. Ada yang menyerbu kantin ada yang bermain basket, ada yang hanya sekedar menonton teman2nya bermain. Pemandangan yang jarang sekali ditemukan ketika para siswa itu menuju kantin, bukannya berebutan ingin dilayani tapi mereka berbaris rapi menunggu giliran. Tidak ada siswa yang memegang rokok bahkan menghisapnya di area sekolah. Begitu juga dengan guru2 atau kepala sekolahnya. Tidak ada aktivitas pacaran seperti yang biasa terlihat di sinetron2. Tidak ada kata2 kotor terdengar dari mulut siswa2nya. Hanya ada 3 kata yang paling sering gue dengar waktu itu : minta tolong, maaf, dan terimakasih. Mengagumkan.

Saat menikmati udara sekolah yang menyegarkan itu mungkin ada sekitar 2 guru dan satu staf datang di waktu berbeda dan menghampiri gue dengan pertanyaan yang sama "Ada yang bisa saya bantu?". Seolah mereka ingin menegaskan bahwa di sekolah itu tidak ada tamu yang tidak dilayani dengan baik. Belum habis kesan yang gue rasa, pandangan gue seketika teralihkan ketika melihat ada siswa yang meninggalkan hefonnya di kursi koridor depan kelas lalu dia lupa mengambilnya. Belum juga bel masuk kelas, para siswa mulai masuk di kelasnya masing2 diikuti oleh gurunya masing2. Lima menit setelah itu terlihatlah lapangan dan pelataran menjadi kembali kosong melompong. Bel pun berbunyi dan henfon itu masih disana.

Sungguh pemandangan yang sangat unik. Seunik sistem dan kurikulum yang dipakai oleh sekolahnya. Sepuluh menit berlalu gue menduga akan ada satu atau dua orang yang akan mengamankan henfon itu lalu mengambilnya. Ya, bukankah negara Indonesia memang seperti itu, gue bergumam dalam hati. Tapi dugaan gue salah henfon yang tadi tidak berpindah sedikit pun dari tempat semula sampai giliran gue bertemu kepala sekolah. Selama perbincangan itu tidak pernah sekalipun ada guru atau staf yang datang sekedar mendongakkan kepalanya lewat pintu lalu pergi atau tiba2 masuk tanpa mengetuk pintu lalu masuk minta tanda tangan dan pergi begitu saja.

Di sekolah ini setiap anak di masing2 tingkatannya berhak memilih 8 mata pelajaran setiap semesternya dari 12 mata pelajaran yang disiapkan. Lima mata pelajaran diantaranya adalah mata pelajaran wajib seperti ilmu hitung, pengetahuan alam dan bahasa. Tiga lainnya adalah pelajaran pengembangan bakat anak terdiri dari kelas chef, gambar bangunan dan kelas olahraga. Sebelum memutuskan benar2 meninggalkan sekolah itu, gue balik lagi di koridor tempat duduk sebelumnya. Mengejutkan. Henfon itu masih disana. Tidak lama kemudian jam belajar pun berakhir. Siswa yang tadi gue liat meninggalkan henfonnya pun datang dengan santai mengambil henfonnya lalu pulang dengan teman2nya yang lain.

Entahlah sistem dan kurikulum apa yang dipakai tapi sekolah ini benar2 membentuk siswanya bukan sekedar menjadi makhluk "knowing" tapi juga makhluk "being". Seolah sistem dan kurikulumnya dibuat sebegitu kreatifnya sampai2 semua terlihat begitu beretika yang benar2 memanusiakan manusia. Sekolah yang mungkin hanya bisa didapati di negara Finlandia. Sekolah yang mementingkan standar etika dan moral sebagai pondasi membentuk bangsa yang kuat dan cerdas.

***
Sesampainya di rumah gue menceritakan kejadian ini ke nyokap bokap dan buktinya bukan cuma gue yang terkesima tapi mereka pun demikian. Harapan gue dan mereka sama.

Sampai akhirnya gue disuruh bokap untuk ngajarin Nada matematika tentang pecahan dan perbandingan. Saat mengerjakan soal yang mudah itu, gue malah gak konsentrasi. Diantara 5 nomor, satu pun tidak ada yang selesai selama seperempat jam.

Mungkin karena gue kurang minum aqua atau apa. Entahlah.

Sambil ngerjain soal, yang membuat gue keringat dingin itu nyokap pun memanggil...

"Cikkk Acikkk... Bangunko nak, ndak ke sekolahko Ujian sekolahmi anak2. Bangunko !!!"

Ternyata gue cuma mimpi. Iya, mimpi dari orang kecil yang sudah muak dengan sistem pendidikan yang ada di negerinya sendiri.

Sunday, March 8, 2015

Timezone I Am Coming

Wiken gue so far cukup menyenangkan sih minggu ini. Kenapa? karena gue ke timezone lagi (lho? emang tuh umur belum cukup ketuaan Cik untuk main-main apa gitu di timezone?).

Hueuehe, ini mah bukan masalah gue uda ketuaan main disana apa kaga. Perlu diketahui bersama sodara-sodara kalo gue kesana dalam rangka ingin mengharumkan nama sekolah, nusa dan bangsa bersama St. Chalijah Emba anak SMP kelas VII yang gue antar untuk ikutan lomba matematika.

Ceritanya sih dimule sekitaran seminggu yang lalu ketika gue mendapati info dari Ira, sepupu gue via akun sekolah. Sehubungan dengan tugas gue sebagai bagian dari tim pengembang sekolah ide brilian ini selalu gue koar2kan di dalam setiap kesempatan. Mule dari akun sekolah, pas nyampe rumah, rapat osis sampe rapat dewan guru.

Beberapa hari setelah rapat dewan guru di awal minggu, Kamisnya si Ija' gue daftarin di timezone. 

Jam berganti jam. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sisa terangbulan yang belum berganti dari tampilan biasanya. Terangbulan hanya dibedakan dari dua segi yakni rasa dan ukuran (opo coba?).

oke, lanjut.

Hari2, gue lalui dengan semangat perjuangan yang tak kenal lelah. Gue disibukkan dengan interaksi dengan anak2 osis, guru2 dan pegawai di sekolah demi kelancaran seluruh program. Mule dari masalah sepele seperti "bu, ndak tauka bikin struktur osis !" sampe hal yang paling genting. PDSS. Ngurusin data anak2 kelas XII yang mau ikut jalur undangan SNMPTN taon ini hingga bagemana susahnya bekerjasama dengan operator sekolah. 

Sampe akhirnya semua urusan bisa selesai sedikit demi sedikit. Dimana ada kesabaran disitu ada solusi.

Pagi tadi pukul 10.30 gue bergegas ke mal panakkukang untuk selanjutnya berjumpa dengan Ija' sekaligus temu sapa dengan nyokapnya. Sambil lari2 kecil mencari mereka berdua di mal gue bak runner di adegan2 running man mencari bintang tamu. Judulnya kali ini, seek and hike before meeting the guest. Hhehe.

Bingung mencari, lambat di jalan. Gak ngerti arah, sesat di pintu keluar. Gue telfon Ija' sambil berlari2 kecil keliling2 mal. Hingga gue ketemu mereka di parkiran pintu belakang. Bukan pintu depan atau di samping. Gak perlu banyak basa basi, kita bertiga naek ke lante tiga tempat dimana timezone berada. Lomba matematika dimulai pukul 11 dan waktu di henpon sudah hampir menunjuk ke 11.00 wita.

Sampe lante tiga, gue perhatiin area antara timezone dan ice skating tidak menunjukkan adanya tanda2 lomba seperti yang seharusnya terlihat. Kita masuk di timezone dan jawaban dari pihak panitia sangat mengejutkan.

"ADUH BU, NDAK JADI KEKNYA KARENA YANG BARU DATANG BARU DUA ORANG DENGAN KITA"

Hah?

JADI? JADI? JADI? 

Pantas pas daftarin Ija' lomba hari Kamis kemarin, si mbak2nya langsung hepi gitu dan gak bisa lagi berhenti senyum. Seakan2 gue adalah peserta pertama atau kedua yang bawa siswa kesana untuk ikut lomba.

Hari ini gue yakin seperti itulah adanya.

Gue kecewa, Ija' pun demikian. Apalagi nyokapnya Ija', gue cukup ngeliat gimana dia memandang gue dan menjawab pertanyaan2 gue sekenanya. Gue cuma bisa terdiam sesekali memecah keheningan trus bilang "Ibu, ayok kita main2 sama Ija'..." Jleb.

Mungkin Ija' uda banyak belajar untuk lomba hari ini. Dan semua kekecewaan kita hari ini hanya dibayar dengan bermain gratis 7 game itupun cuma 2 yang kita mainin salah satunya adalah tembak2 yang bikin kaki gue sedikit kram. Sisa saldo untuk gratis kartu bermain kita yang seharga 10rb itu juga abis dengan hanya 2 kali main "tarik capit-tekan tombol-ambil boneka" yang berakhir dengan tragis karena kita sama sekali gak pernah menang dapetin bonekanya.

Huhuhu

Satu hal yang bikin gue sadar ketika pulang ke rumah dan info ini sampai ke telinga bokap nyokap adalah...

KITA MENANG SEBELUM BERTARUNG...